:strip_exif():quality(75)/medias/9464/1aeb126a9fc909129391d153c930072a.jpg)
Ustaz Abdul Somad (UAS) baru-baru ini memberikan pandangannya terkait kepemimpinan perempuan dalam sebuah Tabligh Akbar di Banda Aceh. Dalam ceramahnya di Taman Ratu Safiatuddin pada Minggu malam, 17 November 2024, UAS menyatakan bahwa kepemimpinan perempuan dibolehkan, asalkan tidak memegang kekuasaan absolut dan tetap bertanggung jawab.
Penjelasan UAS tentang Kepemimpinan Perempuan
UAS menjelaskan pandangannya ini dengan merujuk pada beberapa contoh sejarah. Ia menekankan bahwa larangan kepemimpinan perempuan hanya berlaku untuk pemimpin tertinggi dunia, atau khalifah. "Perempuan memimpin diperbolehkan selama tidak absolut dan bertanggung jawab," tegas UAS. Penjelasan ini bertujuan untuk mengklarifikasi pemahaman yang selama ini mungkin keliru mengenai peran perempuan dalam kepemimpinan.
Sebagai contoh, UAS menyinggung peran Aisyah ra. dalam Perang Jamal. Aisyah, sebagai salah satu panglima perang, menunjukkan kapabilitas perempuan dalam posisi kepemimpinan strategis di masa Nabi Muhammad SAW. Ini membuktikan bahwa perempuan mampu menjalankan peran kepemimpinan yang signifikan.
Lebih lanjut, UAS juga mencontohkan penunjukan Syifa sebagai kepala polisi pasar Madinah oleh Umar bin Khattab. Hal ini menunjukkan bahwa bahkan pada masa kepemimpinan Khulafaur Rasyidin, perempuan dipercaya memegang jabatan penting dalam pemerintahan. Penunjukan ini menepis anggapan bahwa perempuan sama sekali dilarang memegang jabatan publik.
Sejarah Aceh juga menjadi rujukan UAS. Ia menyebutkan empat Sultanah Aceh yang memimpin kerajaan dengan dukungan ulama besar. Sultanah Safiatuddin Tajul Alam, Sultanah Nurul Alam Naqiatuddin, Sultanah Zakiyatuddin, dan Sultanah Kamalat Shah membuktikan penerimaan kepemimpinan perempuan dalam konteks tertentu, dengan dukungan ulama yang menunjukkan kesesuaiannya dengan syariat Islam.
UAS juga menyatakan bahwa jabatan-jabatan seperti kepala dinas, wali kota, dan gubernur dapat dijabat perempuan. Ia berpendapat bahwa kekuasaan dalam jabatan-jabatan tersebut terbatas dan dapat dipertanyakan, sehingga tidak termasuk dalam larangan kepemimpinan perempuan yang absolut. Pendapat ini, menurut UAS, sejalan dengan pandangan ulama besar seperti Imam Thabari yang dikutip oleh Imam Ibnu Rusd.
Keberadaan ulama besar sebagai Qadhi Malikul Adil yang mendukung para Sultanah Aceh selama puluhan tahun, menurut UAS, menunjukkan kesesuaian kepemimpinan perempuan dengan syariat Islam dalam konteks tersebut. Dukungan para ulama ini menjadi bukti kuat penerimaan atas kepemimpinan perempuan dalam sejarah Islam.
Ribuan masyarakat Banda Aceh dan sekitarnya menghadiri Tabligh Akbar tersebut. Di antara hadirin terdapat pasangan calon Wali Kota dan Wakil Wali Kota Banda Aceh, Illiza Sa’aduddin Djamal-Afdhal Khalilullah Mukhlis, dan para alumni Timur Tengah yang merupakan sahabat UAS. Pernyataan UAS ini tentu akan memicu diskusi lebih lanjut mengenai peran perempuan dalam kepemimpinan di Indonesia.
Implikasi Pernyataan UAS
Pernyataan UAS ini memberikan perspektif baru tentang peran perempuan dalam kepemimpinan. Ia memberikan landasan historis dan teologis untuk memahami kepemimpinan perempuan dalam berbagai konteks. Pernyataan ini diharapkan dapat mendorong diskusi yang lebih konstruktif dan inklusif mengenai peran perempuan di berbagai bidang kehidupan.
Perlu diingat bahwa pernyataan UAS ini menekankan pada pentingnya akuntabilitas dan batasan kekuasaan. Kepemimpinan perempuan, menurut UAS, haruslah bertanggung jawab dan tidak absolut. Hal ini menjadi pertimbangan penting dalam membahas peran perempuan dalam kepemimpinan.